Hukum
Itu Melindungi, Bukan Menghakimi
Indonesia bisa dibilang negara yang sempurna, kenapa?
wilayahnya luas, laut seakan tak terbatas. Sumber daya melimpah, budaya tumpah
ruah. Masyarakat yang santun, saling hidup berdampingan dengan rukun. Setiap
garis pulau terluar dijaga garda tentara pemberani, dan setiap penjuru
nusantara dipantau tiada henti oleh polisi. Payung hukum menghiasi, keamanan
tak diragukan lagi. Lantas apakah ada yang salah dengan Indonesia? Mari kita
kulik lebih dalam. “Kesempurnaan” Indonesia yang telah saya uraikan diatas
perlu dikaji sebagai bahan evaluasi dan
bebenah diri. Disini saya akan memfokuskan pembahasan kita berkenaan dengan
hukum di negara ini.
Istilah “Indonesia adalah negara hukum” termuat dalam UUD
NRI Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 yang dapat dimaknai secara sederhana, yaitu
Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada hukum, diatur oleh hukum dan
menjunjung tinggi hukum tersebut. Juga pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 27 ayat 1
yang menegaskan bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Jadi, tindakan apapun yang dilakukan oleh siapapun dan kapanpun akan ada
pertanggungjawabannya. Jika merambah ke cakupan yang lebih luas, hukum
Indonesia bisa dikatakan sebagai paket
komplit! Mengapa demikian? Setiap hal dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, mulai dari urusan pribadi maupun kelompok; didalam maupun luar
negeri; laki-laki maupun perempuan; anak-anak, dewasa, maupun lansia; pejabat
maupun rakyat biasa; masalah ekonomi, sosial budaya, politik, bahkan segalanya,
diatur dalam hukum. Ya sangat bagus! Akan tetapi menurut saya, dengan kekomplitan
tersebut akan memberikan 2 dampak bagi masyarakat. Dampak yang pertama, dampak
positif. Masyarakat Indonesia menjadi patuh (sebagian orang) dan merasa aman
menjadi Warga Negara Indonesia, mereka merasa hak mereka terjamin dalam hukum.
Dampak kedua, dampak negatif. Saat hukum telah mendapatkan image sangat bagus di masyarakat, hukum sangat dielu-elukan, justru
hukum malah dapat dijadikan “senjata” bagi segelintir orang. Apa yang dimaksud
dengan “senjata”? sebagai contohnya, dewasa ini sangat banyak kasus orang tua
siswa yang melaporkan guru dari anaknya dengan tuduhan melakukan tindakan
penganiayaan atau pelecehan seksual. Padahal setelah diperiksa, tindakan guru
tersebut hanya bermaksud melatih kedisiplinan si anak, akan tetapi karena si
anak merasa tidak suka, kemudian orang tuapun tidak terima, apa yang terjadi?
Orang tua pasti akan lapor ke polisi. Mengapa? Karena orang tua merasa di
negara ini ada hukum yang memayungi. Sikap tersebut menjadikan manusia ingin
menang sendiri, bahkan egois.
Tidak berhenti sampai disitu, saat ini juga telah terjadi
pergeseran makna hukum yang tentunya tak banyak orang sadari, dari hukum yang
seharusnya melindungi menjadi hukum yang menghakimi. Contoh sederhana dari
hukum yang menghakimi biasanya dalam kasus pencurian ataupun perampokan. Apabila
pelaku tertangkap tangan, pasti akan dikeroyok massa habis-habisan. Pengeroyokan
tersebut menurut saya tidaklah benar, iya memang pelaku berbuat salah, akan
tetapi bukan berarti kita sebebasnya melakukan apa yang kita mau termasuk
mengeroyoknya. Bila ditelusuri, justru massa juga akan terkena hukuman karena
main hakim sendiri. Contoh lain yaitu kasus pembunuhan, korupsi, narkoba maupun
kejahatan lain yang dapat menghilangkan nyawa seseorang dan diancam dengan hukuman
mati, menurut saya itu tidak adil. Namun, stigma yang berkembang di masyarakat
sangat kuat yaitu : “nyawa harus diganti
dengan nyawa, dan keadilan harus ditegakkan!” tapi ada satu hal yang
dilupakan bahwasanya adil belum tentu sama, karena adil disini belum tentu adil
disana.
Kita ambil kasus pembunuhan sebagai contohnya dan pelaku
dijatuhi hukuman mati. Dari perspektif korban, keluarga korban mungkin sudah
puas merasa telah terbayarkan karena pelaku dijatuhi hukuman setimpal, nyawa
dibayar dengan nyawa. Akan tetapi pernahkah kita melihat dari perspektif
pelaku? Keluarga pelaku? Masa depan anak pelaku? Tidak. Mungkin ada yang
pernah, namun hanya terbesit. Jadi beginilah pemikiran saya, saya mencoba melihat
dari 2 sudut pandang, sebagai korban dan sebagai pelaku. Hilangnya nyawa korban
memang merugikan keluarga korban dan menyisakan kesedihan yang mendalam. Bila
korban memiliki anak, tentu masa depan anak korban juga terganggu. Akan tetapi,
apakah hal yang sama juga akan dilakukan terhadap keluarga pelaku? Jika pelaku
dijatuhi hukuman mati, lantas apa efeknya? Tentu tidak jauh berbeda dari keluarga
korban, yaitu kesedihan dan kerugian. Akan menjadi berbeda ceritanya apabila si
pelaku tidak diakhiri hidupnya.Misalnya dengan mengganti hukuman mati tersebut
dengan rehabilitasi yang bertujuan untuk memperbaiki kesehatan mental pelaku,
menyadarkan pelaku, bahkan mengubah pelaku menjadi seseorang yang lebih baik
daripada sebelumnya. Terlihat sangat tidak setimpal ya? jika menghilangkan satu
nyawa hanya diberi rehabilitasi saja lalu dibebaskan. Ya memang tidak hanya sampai
disitu, setelah pelaku menjalani rehabilitasi pelaku tidak dibebaskan,
melainkan harus bekerja dibawah pengawasan negara dan di lingkup kepolisian
maupun instansi lainnya untuk membayar kesalahannya. Berapa nominalnya?
Setidaknya sudah mampu menggantikan peran korban yang hilang dalam membiayai
keluarganya. Misalnya, menyekolahkan anak korban hingga lulus. Jadi, si pelaku
memiliki dua beban yaitu membiayai keluarga korban dan keluarganya sendiri. Selama
bekerjapun pelaku tidak diperbolehkan kembali ke rumah, namun ditampung oleh
pemerintah. Menurut saya akan lebih efektif jika hal ini diberlakukan, daripada
pelaku dihukum mati, dan berakhir begitu saja, kedua keluarga baik korban
maupun pelaku dirugikan, lebih baik pelaku dipekerjakan. Selain dapat
bermanfaat bagi negara, hak-hak dari pelaku dan keluarga pelaku pun tidak
dihilangkan. Keluarga pelaku masih bisa bertemu dengan pelaku, dan keluarga
korban tidak terlalu dirugikan. Yang paling penting pelaku sudah bisa menebus
kesalahannya. Hal inilah yang saya maksud dengan hukum seharusnya melindungi,
bukan menghakimi.
Jika hal
tersebut diatas dapat direalisasikan, dampak akhir bagi kedua belah pihak
menjadi positif. Pelaku akan tersadar, bahkan juga dapat menyadarkan lingkungan
sekitarnya. Pelaku bisa bercerita bagaimana kerugian yang akan dituai jika
berbuat kejahatan. Dengan cerita langsung dari pelaku, masyarakat akan lebih percaya
dan tidak akan melakukan tindakan kejahatan yang sama. Hubungan pelaku dengan
keluarga korban dapat menjadi lebih baik. Coba bandingkan jika pelaku dihukum
mati, keluarga pelaku akan dikenai sanksi sosial, misalnya dijauhi masyarakat
dan di cap sebagai “keluarga jahat”. Tidak hanya itu, keluarga korban akan
terus menaruh rasa kebencian pada pelaku dan keluarganya, masyarakatpun tidak
memperoleh feedback apapun dari
setiap kasus kejahatan. Uraian saya tersebut merupakan saran, pemikiran dan
tentunya bukan suatu keharusan yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Sekali
lagi, adil belum tentu sama karena adil disana belum tentu adil disini. Jadi,
mencoba melihat dari banyak sudut pandang akan melahirkan suatu keputusan yang
lebih baik.
Namun,
ekspektasi memang tak selalu sejalan dengan realita. Keadilan yang diidamkan oleh
rakyat tampaknya hanya akan menjadi angan belaka. Karena realitanya, hukum di
Indonesia ini tak lagi berlandas pada Pancasila sila kelima. Keadilan tidak
lagi bagi seluruh rakyat Indonesia tetapi keadilan memihak bagi siapapun dia
yang berkuasa. Ya, hukum di Indonesia menyandang gelar “Runcing Ke Bawah Tumpul
Ke Atas”. Istilah ini mungkin sudah lumrah bahkan sudah menjadi rahasia
umum di Negara kita. Hukum di Indonesia
lebih suka menghukum rakyat kecil yang tidak berdaya. Kebeneran dipalsukan,
kesalahan dibenarkan, simpang-siur, tumpang-tindih, berantakan. Adakah ungkapan
memprihatinkan lain yang dapat menggambarkan keadaan hukum di Negara kita?
Banyak
kasus yang telah terjadi memperkuat bukti bahwasanya Negara kita ini tidak adil
lagi. Contohnya seperti yang dilansir banyak media tahun 2013 silam, kasus
korupsi Ratu Atut Chosiyah mantan gubernur Banten yang terbukti melakukan
penyuapan terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir
Hamzah dan Kasmin. Ratu Atut hanya
dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dan denda 200 juta rupiah. Coba kita
bandingkan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2016 yaitu kasus seorang
seorang nenek yang hidup dalam
kemisikinan dan suatu hari ia kelaparan kemudian terpaksa mencuri
singkong dan ternyata dijatuhi
hukuman 2,5 tahun penjara. Koruptor merugikan negara 1 Miliar rupiah hanya
dihukum 4 tahun, sedangkan mencuri singkong yang bahkan harganya tidak seberapa
namun dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Sangat miris bukan? Inilah yang
disebut krisis moral di kalangan penegak hukum kita. Inilah akar
permasalahannya, penegak hukum yang tidak profesional perlahan akan menggeser
makna hukum yang harusnya melindungi menjadi meghakimi.
Setelah
kita maknai lebih dalam pada akhirnya kita dapat mengetahui akar
permasalahannya. Sekarang pertanyaan yang muncul, akankah kita biarkan keadaan
negara kita terus menerus begini? Membiarkan rakyat kecil sengsara sedangkan
pejabat tertawa? Membiarkan terus tumbuhnya stigma bahwa keadilan itu harus sama?
Membiarkan hukum beralih makna? Tentu
jawabannya tidak! Sadarlah kawan-kawanku generasi muda, kitalah penentu arah
geraknya negara. Kitalah yang meneruskan tongkat perjuangan bangsa ini. Lalu
mau dibawa kemana? Mulai sekarang mari kita perbaiki kualitas diri kita
masing-masing, amalkan Pancasila, jadilah anak bangsa yang mencintai negaranya,
persiapkan diri untuk membangun Indonesia. Wujudkan keadilan yang benar nyata
adanya, merata, tidak memihak pada yang berkuasa. Jadi kuncinya ada di kita,
anak muda! Mari bersama-sama benahi indonesia!