Kamis, 16 April 2020


Hukum Itu Melindungi, Bukan Menghakimi
Indonesia bisa dibilang negara yang sempurna, kenapa? wilayahnya luas, laut seakan tak terbatas. Sumber daya melimpah, budaya tumpah ruah. Masyarakat yang santun, saling hidup berdampingan dengan rukun. Setiap garis pulau terluar dijaga garda tentara pemberani, dan setiap penjuru nusantara dipantau tiada henti oleh polisi. Payung hukum menghiasi, keamanan tak diragukan lagi. Lantas apakah ada yang salah dengan Indonesia? Mari kita kulik lebih dalam. “Kesempurnaan” Indonesia yang telah saya uraikan diatas perlu dikaji sebagai  bahan evaluasi dan bebenah diri. Disini saya akan memfokuskan pembahasan kita berkenaan dengan hukum di negara ini.
Istilah “Indonesia adalah negara hukum” termuat dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 yang dapat dimaknai secara sederhana, yaitu Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada hukum, diatur oleh hukum dan menjunjung tinggi hukum tersebut. Juga pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Jadi, tindakan apapun yang dilakukan oleh siapapun dan kapanpun akan ada pertanggungjawabannya. Jika merambah ke cakupan yang lebih luas, hukum Indonesia bisa dikatakan sebagai paket komplit! Mengapa demikian? Setiap hal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mulai dari urusan pribadi maupun kelompok; didalam maupun luar negeri; laki-laki maupun perempuan; anak-anak, dewasa, maupun lansia; pejabat maupun rakyat biasa; masalah ekonomi, sosial budaya, politik, bahkan segalanya, diatur dalam hukum. Ya sangat bagus! Akan tetapi menurut saya, dengan kekomplitan tersebut akan memberikan 2 dampak bagi masyarakat. Dampak yang pertama, dampak positif. Masyarakat Indonesia menjadi patuh (sebagian orang) dan merasa aman menjadi Warga Negara Indonesia, mereka merasa hak mereka terjamin dalam hukum. Dampak kedua, dampak negatif. Saat hukum telah mendapatkan image sangat bagus di masyarakat, hukum sangat dielu-elukan, justru hukum malah dapat dijadikan “senjata” bagi segelintir orang. Apa yang dimaksud dengan “senjata”? sebagai contohnya, dewasa ini sangat banyak kasus orang tua siswa yang melaporkan guru dari anaknya dengan tuduhan melakukan tindakan penganiayaan atau pelecehan seksual. Padahal setelah diperiksa, tindakan guru tersebut hanya bermaksud melatih kedisiplinan si anak, akan tetapi karena si anak merasa tidak suka, kemudian orang tuapun tidak terima, apa yang terjadi? Orang tua pasti akan lapor ke polisi. Mengapa? Karena orang tua merasa di negara ini ada hukum yang memayungi. Sikap tersebut menjadikan manusia ingin menang sendiri, bahkan egois.
Tidak berhenti sampai disitu, saat ini juga telah terjadi pergeseran makna hukum yang tentunya tak banyak orang sadari, dari hukum yang seharusnya melindungi menjadi hukum yang menghakimi. Contoh sederhana dari hukum yang menghakimi biasanya dalam kasus pencurian ataupun perampokan. Apabila pelaku tertangkap tangan, pasti akan dikeroyok massa habis-habisan. Pengeroyokan tersebut menurut saya tidaklah benar, iya memang pelaku berbuat salah, akan tetapi bukan berarti kita sebebasnya melakukan apa yang kita mau termasuk mengeroyoknya. Bila ditelusuri, justru massa juga akan terkena hukuman karena main hakim sendiri. Contoh lain yaitu kasus pembunuhan, korupsi, narkoba maupun kejahatan lain yang dapat menghilangkan nyawa seseorang dan diancam dengan hukuman mati, menurut saya itu tidak adil. Namun, stigma yang berkembang di masyarakat sangat kuat yaitu : “nyawa harus diganti dengan nyawa, dan keadilan harus ditegakkan!” tapi ada satu hal yang dilupakan bahwasanya adil belum tentu sama, karena adil disini belum tentu adil disana.
Kita ambil kasus pembunuhan sebagai contohnya dan pelaku dijatuhi hukuman mati. Dari perspektif korban, keluarga korban mungkin sudah puas merasa telah terbayarkan karena pelaku dijatuhi hukuman setimpal, nyawa dibayar dengan nyawa. Akan tetapi pernahkah kita melihat dari perspektif pelaku? Keluarga pelaku? Masa depan anak pelaku? Tidak. Mungkin ada yang pernah, namun hanya terbesit. Jadi beginilah pemikiran saya, saya mencoba melihat dari 2 sudut pandang, sebagai korban dan sebagai pelaku. Hilangnya nyawa korban memang merugikan keluarga korban dan menyisakan kesedihan yang mendalam. Bila korban memiliki anak, tentu masa depan anak korban juga terganggu. Akan tetapi, apakah hal yang sama juga akan dilakukan terhadap keluarga pelaku? Jika pelaku dijatuhi hukuman mati, lantas apa efeknya? Tentu tidak jauh berbeda dari keluarga korban, yaitu kesedihan dan kerugian. Akan menjadi berbeda ceritanya apabila si pelaku tidak diakhiri hidupnya.Misalnya dengan mengganti hukuman mati tersebut dengan rehabilitasi yang bertujuan untuk memperbaiki kesehatan mental pelaku, menyadarkan pelaku, bahkan mengubah pelaku menjadi seseorang yang lebih baik daripada sebelumnya. Terlihat sangat tidak setimpal ya? jika menghilangkan satu nyawa hanya diberi rehabilitasi saja lalu dibebaskan. Ya memang tidak hanya sampai disitu, setelah pelaku menjalani rehabilitasi pelaku tidak dibebaskan, melainkan harus bekerja dibawah pengawasan negara dan di lingkup kepolisian maupun instansi lainnya untuk membayar kesalahannya. Berapa nominalnya? Setidaknya sudah mampu menggantikan peran korban yang hilang dalam membiayai keluarganya. Misalnya, menyekolahkan anak korban hingga lulus. Jadi, si pelaku memiliki dua beban yaitu membiayai keluarga korban dan keluarganya sendiri. Selama bekerjapun pelaku tidak diperbolehkan kembali ke rumah, namun ditampung oleh pemerintah. Menurut saya akan lebih efektif jika hal ini diberlakukan, daripada pelaku dihukum mati, dan berakhir begitu saja, kedua keluarga baik korban maupun pelaku dirugikan, lebih baik pelaku dipekerjakan. Selain dapat bermanfaat bagi negara, hak-hak dari pelaku dan keluarga pelaku pun tidak dihilangkan. Keluarga pelaku masih bisa bertemu dengan pelaku, dan keluarga korban tidak terlalu dirugikan. Yang paling penting pelaku sudah bisa menebus kesalahannya. Hal inilah yang saya maksud dengan hukum seharusnya melindungi, bukan menghakimi.
            Jika hal tersebut diatas dapat direalisasikan, dampak akhir bagi kedua belah pihak menjadi positif. Pelaku akan tersadar, bahkan juga dapat menyadarkan lingkungan sekitarnya. Pelaku bisa bercerita bagaimana kerugian yang akan dituai jika berbuat kejahatan. Dengan cerita langsung dari pelaku, masyarakat akan lebih percaya dan tidak akan melakukan tindakan kejahatan yang sama. Hubungan pelaku dengan keluarga korban dapat menjadi lebih baik. Coba bandingkan jika pelaku dihukum mati, keluarga pelaku akan dikenai sanksi sosial, misalnya dijauhi masyarakat dan di cap sebagai “keluarga jahat”. Tidak hanya itu, keluarga korban akan terus menaruh rasa kebencian pada pelaku dan keluarganya, masyarakatpun tidak memperoleh feedback apapun dari setiap kasus kejahatan. Uraian saya tersebut merupakan saran, pemikiran dan tentunya bukan suatu keharusan yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Sekali lagi, adil belum tentu sama karena adil disana belum tentu adil disini. Jadi, mencoba melihat dari banyak sudut pandang akan melahirkan suatu keputusan yang lebih baik.
            Namun, ekspektasi memang tak selalu sejalan dengan realita. Keadilan yang diidamkan oleh rakyat tampaknya hanya akan menjadi angan belaka. Karena realitanya, hukum di Indonesia ini tak lagi berlandas pada Pancasila sila kelima. Keadilan tidak lagi bagi seluruh rakyat Indonesia tetapi keadilan memihak bagi siapapun dia yang berkuasa. Ya, hukum di Indonesia menyandang gelar “Runcing Ke Bawah Tumpul Ke Atas”. Istilah ini mungkin sudah lumrah bahkan sudah menjadi rahasia umum di Negara kita. Hukum di Indonesia lebih suka menghukum rakyat kecil yang tidak berdaya. Kebeneran dipalsukan, kesalahan dibenarkan, simpang-siur, tumpang-tindih, berantakan. Adakah ungkapan memprihatinkan lain yang dapat menggambarkan keadaan hukum di Negara kita?
Banyak kasus yang telah terjadi memperkuat bukti bahwasanya Negara kita ini tidak adil lagi. Contohnya seperti yang dilansir banyak media tahun 2013 silam, kasus korupsi Ratu Atut Chosiyah mantan gubernur Banten yang terbukti melakukan penyuapan terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Ratu Atut hanya dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dan denda 200 juta rupiah. Coba kita bandingkan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2016 yaitu kasus seorang seorang nenek yang hidup dalam kemisikinan dan suatu hari ia kelaparan kemudian terpaksa mencuri singkong dan ternyata dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Koruptor merugikan negara 1 Miliar rupiah hanya dihukum 4 tahun, sedangkan mencuri singkong yang bahkan harganya tidak seberapa namun dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Sangat miris bukan? Inilah yang disebut krisis moral di kalangan penegak hukum kita. Inilah akar permasalahannya, penegak hukum yang tidak profesional perlahan akan menggeser makna hukum yang harusnya melindungi menjadi meghakimi.
Setelah kita maknai lebih dalam pada akhirnya kita dapat mengetahui akar permasalahannya. Sekarang pertanyaan yang muncul, akankah kita biarkan keadaan negara kita terus menerus begini? Membiarkan rakyat kecil sengsara sedangkan pejabat tertawa? Membiarkan terus tumbuhnya stigma bahwa keadilan itu harus sama? Membiarkan  hukum beralih makna? Tentu jawabannya tidak! Sadarlah kawan-kawanku generasi muda, kitalah penentu arah geraknya negara. Kitalah yang meneruskan tongkat perjuangan bangsa ini. Lalu mau dibawa kemana? Mulai sekarang mari kita perbaiki kualitas diri kita masing-masing, amalkan Pancasila, jadilah anak bangsa yang mencintai negaranya, persiapkan diri untuk membangun Indonesia. Wujudkan keadilan yang benar nyata adanya, merata, tidak memihak pada yang berkuasa. Jadi kuncinya ada di kita, anak muda! Mari bersama-sama benahi indonesia!

1 komentar:

Hukum Itu Melindungi, Bukan Menghakimi Indonesia bisa dibilang negara yang sempurna, kenapa? wilayahnya luas, laut seakan tak terbatas. ...